Perbedaan antara
Gender dan Seks
Bicara tentang seks, maka sudah jelas yang dibahas adalah
tentang perbedaan bahwa laki-laki
memiliki alat kelamin berupa penis, sedangkan perempuan memiliki vagina.
(Apakah terlalu vulgar jika saya menuliskan hal ini? Atau bisakah kita samakan
persepsi bahwa hal ini sudah menjadi pengetahuan umum?) Sedangkan bicara
mengenai gender, berarti kita bicara tentang peran laki-laki dan perempuan.
Seks adalah ciptaan tuhan atau bersifat kodrati. Seks tidak
dapat diubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang masa. Misalnya:
hamil dan menyusui hanya dapat dilakukan oleh perempuan, tidak dapat digantikan
oleh laki-laki. Sebaliknya, membuahi rahim hanya dapat dilakukan oleh
laki-laki, tidak dapat dipertukarkan dengan perempuan karena perempuan tidak
menghasilkan sperma.
Sementara itu, gender adalah buatan manusia, bukan kodrat,
dapat dipertukarkan, dapat berubah, tergantung pada budaya dan waktu. Misalnya,
secara budaya laki-laki bertugas bekerja mencari uang, sedangkan perempuan
bertugas mengatur rumah tangga di rumah. Kedua peran ini dapat bertukar,
perempuan pun dapat bekerja di luar rumah, dan laki-laki juga bisa saja
mengatur rumah tangga di rumah.
Gender merupakan pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Pembagian peran inilah
yang kemudian menjadi kebiasaan dan berkembang menjadi tradisi budaya. Karena telah menjadi tradisi, maka ketika
terdapat peran yang tidak lazim seperti contoh di atas: perempuan bekerja sedangkan
laki-laki di rumah, akan dianggap aneh, tidak sewajarnya, tidak patut. Padahal
sebenarnya sah-sah saja.
Bentuk-bentuk
Ketidakadilan Gender pada Perempuan
Permasalahan yang kemudian muncul adalah, masih banyak
terjadi ketidakadilan gender di masyarakat kita di mana perempuan menjadi pihak yang
dirugikan. Sebut saja ketidakadilan tersebut dalam bentuk-bentuk
seperti ini:
1. Marginalisasi (peminggiran)
“Perempuan nggak usah
sekolah tinggi-tinggi lah, toh nanti ujung-ujungnya masak di dapur”
Pernah mendengar ungkapan di atas?.
Saya pernah, bahkan sering. Walaupun kalimat tersebut tidak
ditujukan untuk saya melainkan untuk sahabat perempuan yang lain. Tapi
rasanya.... ah, begitukah jika jadi perempuan?.
Tentu saja TIDAK. Pendidikan adalah hak bagi semua orang,
laki-laki maupun perempuan.
Tapi marginalisasi yang dialami perempuan bukan hanya dalam
segi pendidikan saja. Kasus lain marginalisasi misalnya: perempuan tidak
mendapat warisan, gaji perempuan lebih rendah, atau perempuan bekerja tidak
mendapat tunjangan anak. Pernah mengalami kasus seperti ini?.
2. Subordinasi (penomorduaan)
Perempuan adalah makhluk yang emosional, lebih mendahulukan hati daripada otak.
Nggak logis.
Irasional.
Lemah.
Cengeng.
Nggak mampu jadi pemimpin
Pernahkah pikiran seperti itu terbersit di pikiran kita?.
Jika jawabannya adalah iya, maka saat itu secara halus telah
terjadi subordinasi terhadap kaum perempuan. Penomorduaan.
Baik perempuan maupun laki-laki, bukankah setiap insan di
dunia ini memiliki kekurangan dan kelebihan?. Tidak ada manusia yang sempurna.
Tapi setiap manusia toh memiliki kesempatan yang sama. Untuk memimpin,
misalnya. Atau untuk berpendapat,
misalnya. Dalam setiap aktivitas dan sendi kehidupan, kita semua bisa ambil
peran. Kenapa enggak?
3. Stereotipe (pelabelan)
Perempuan yang merokok, adalah perempuan yang nggak beretika.
Perempuan yang sering pulang malam, adalah perempuan “nggak bener”.
Perempuan memakai baju terbuka, adalah perempuan nakal.
Tapi ketika laki-laki merokok, dianggap
jantan.
Ketika laki-laki pulang malam, dianggap
biasa.
Ketika laki-laki celana pendek, bahkan
tidak memakai baju, dianggap wajar.
Kenapa bisa berbeda?.
Kenapa kita menilai seseorang hanya dari
penampilan luarnya?.
Siapa kita yang kemudian berhak memberikan
label pada seseorang?.
Pernah dalam suatu liburan, saya dan saudara-saudara
berkumpul di rumah Budhe di Semarang. Di sana ikut juga sepupu perempuan saya
yang tinggal di Bandung. Ketika di Semarang, saudara saya tersebut sering
menggunakan celana pendek dan tank top. Kenapa?. Karena bagi dia yang terbiasa
dengan udara sejuk di Bandung, Semarang terasa panas dan gerah.
Baju, pilihan berpakaian, gaya
berpenampilan, ditentukan oleh banyak faktor. Bisa karena selera, kenyamanan,
atau bahkan lingkungan. Terlalu naif jika kita berstigma negatif hanya karena
apa yang dikenakan oleh seseorang.
Saya, ketika kuliah dulu aktif dalam
organisasi. Seringkali saya dan kawan-kawan rapat hingga malam. Bahkan, pernah
kami pulang rapat pukul 2 pagi karena harus mendiskusikan program kerja penting
yang akan dilaksanakan. Apakah karena saya pulang malam lantas seketika saya
menjadi perempuan yang tidak baik?.
‘
4. Kekerasan
Kasus kekerasan acapkali menimpa perempuan,
baik itu kekerasan fisik, psikis bahkan kekerasan seksual.
Kekerasan fisik dapat berupa perlakuan
kasar secara fisik kepada perempuan, misalnya: pemukulan.
Berbeda dengan kekerasan fisik, kekerasan
psikis menyerang bagian mental, bisa dengan kata-kata kasar, penghinaan,
perlakuan yang tidak menyenangkan juga termasuk kekerasan psikis.
Sementara itu, kekerasan seksual dapat terjadi
sekalipun dalam ikatan pernikahan. Dalam lembaga perkawinan, tetap memungkinkan
terjadinya “perkosaan” atau pemaksaan hubungan seksual. Penyimpangan
seksual yang tidak lazim dan tidak dilakukan secara semestinya oleh salah satu
pihak kepada pasangan bisa termasuk dalam kategori kekerasan.
5. Beban ganda
Perempuan memiliki beban kerja ganda, yaitu pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan di luar rumah.
Ketika seorang laki-laki bekerja, maka ya sudah,
pekerjaannya hanya sebatas di tempat kerja. Akan tetapi, ketika seorang
perempuan bekerja, ia memiliki beban pekerjaan ganda: satu, di tempat kerja,
dan dua, pekerjaan di rumah.
Saya sendiri pun merasakannya, walaupun dalam batas yang
sangat bisa ditolerir. Saya bekerja. Di sekolah, saya melaksanakan tugas-tugas
mengajar seorang guru. Di rumah, saya mengerjakan pekerjaan rumah seperti
membereskan rumah, memasak, dan tugas rumah tangga lainnya. Tapi hal itu saya
lakukan dengan senang hati dan kesadaran penuh bahwa saya ingin rumah dalam
keadaan baik selalu. Satu hal yang membesarkan hati saya adalah bahwa suami mau
ikut membantu mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. Saya menyapu, suami
mengepel lantai. Saya memasak, suami mencuci piring. Kerja sama.
Tapi di luar sana...?
---
Memang bukan berarti ketidakadilan gender ini menimpa semua
perempuan di negeri ini. Saya, mungkin termasuk yang beruntung karena tumbuh
dan dikelilingi lingkungan yang tidak timpang sebelah antara laki-laki dan
perempuan. Namun kita tidak dapat menutup mata bahwa di luar sana masih banyak
jumlah perempuan yang mengalami ketidakadilan seperti yang saya tuliskan di
atas.
Sekarang sudah tengah tahun 2018, sudah bukan masanya lagi
perempuan dianggap hanya sebagai “konco wingking” bagi laki-laki. Sudah banyak
tokoh perempuan Indonesia yang telah berprestasi, baik di dalam negeri maupun
di kancah internasional. Sebut saja Ibu Sri Mulyani yang telah berkiprah menjadi salah satu dari Direktur Pelaksana di World Bank. Ibu Susi Pudjiastuti yang kini mengemban amanah sebagai
menteri perikanan. Ibu Risma sebagai walikota yang disegani oleh masyarakat
Surabaya. Bahkan Indonesia pun pernah memiliki presiden perempuan yaitu Ibu
Megawati Soekarno Putri.
Sungguh kuno orang-orang yang masih memandang sebelah mata
perempuan. Sudah saatnya kita membangun kesadaran akan keadilan gender.
Bahwa perempuan dan Laki-laki memiliki derajat yang sama. Yang satu, tidak menjadi superior bagi yang lain.
Perempuan dan laki-laki dapat saling berjalan beriringan dengan peran masing-masing. Yang satu, tidak lantas menjadi lebih terdepan daripada yang lain.
***
Tulisan ini saya buat setelah mengikuti Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada awal Juli lalu. Data-data yang saya tuliskan bersumber dari pemaparan dalam pelatihan dengan saya tambahkan pemikiran pribadi. Tulisan tentang Kesadaran Gender akan saya buat dalam beberapa bagian, di mana ini adalah bagian pertama.
***
0 Comments